Rabu, 14 Desember 2016

Urusan Paling Gila di Dunia

Ingin percaya bahwa dunia baik-baik saja,
tapi begitu banyak kenyataan memberitahu dan membuktikan
bahwa dunia tidak baik-baik saja.
—@noffret

Sebagian orang mungkin akan mengerutkan kening, sebagian lain mungkin tidak percaya, pada yang akan saya paparkan dalam catatan ini. Tetapi, meski mungkin sebagian orang akan sulit menerima kenyataan ini, kalian bisa melakukan klarifikasi ke para ahli atau pihak-pihak berkompeten, mengenai yang akan saya katakan di sini. Oh, well, ini adalah urusan paling gila di dunia, yang sangat tampak di depan mata kita, tapi hanya segelintir orang yang menyadari.

Mari kita mulai dengan pertanyaan ini, “Siapakah pihak yang mencetak uang?”

Sembilan dari sepuluh orang, mungkin, akan menjawab, “Pemerintah!”

Salah!

Pemerintah bahkan tidak punya kuasa apa pun mengenai pencetakan uang!

Pihak yang mencetak uang adalah bank sentral. Bank sentral juga bukan milik pemerintah. Di Amerika, misalnya, bank sentral dimiliki swasta, yang disebut Federal Reserve System (biasa disingkat The Fed). Di negara lain seperti Inggris atau Indonesia, hak memproduksi uang diberikan secara eksklusif kepada bank sentral yang “independen”. Independen di sini memiliki arti serbarahasia, dan tidak bisa dikontrol oleh publik.

Masing-masing negara di dunia memiliki bank sentral sendiri-sendiri, yang memiliki kebijakan mencetak uang untuk diedarkan di masing-masing negara bersangkutan.

Dalam penjelasan normatif di Wikipedia, bank sentral didefinisikan seperti ini, “Bank sentral di suatu negara, pada umumnya adalah sebuah instansi yang bertanggung jawab atas kebijakan moneter di wilayah negara tersebut. Bank Sentral berusaha untuk menjaga stabilitas nilai mata uang, stabilitas sektor perbankan, dan sistem finansial secara keseluruhan.”

Itu penjelasan normatif. Kenyataannya, bank sentral tidak sekadar melakukan itu. Bank sentral di masing-masing negara tidak dikendalikan oleh pemerintah, karena memang—secara de facto—bukan milik pemerintah.

Lalu siapa yang mengendalikan bank sentral di banyak negara? Jawabannya adalah bank sentralnya bank sentral!

Memangnya ada bank sentralnya bank sentral?

Ada! Namanya Bank of International Settlement, atau disingkat BIS. Jika kalian masih asing dengan nama itu, silakan tanya pada pakar keuangan mana pun, dan mereka akan membenarkan keterangan ini. BIS itulah yang mengendalikan bank-bank sentral di negara-negara dunia. Seluruh operasi dan mekanisme bank sentral mengikuti supervisi yang diberikan oleh BIS. Sistem ini telah dimulai sejak berdirinya The Fed pada 1913 dan BIS pada 1930-an. Jadi, bank sentral di masing-masing negara tidak tunduk pada pemerintah masing-masing, melainkan kepada BIS.

Dan siapakah yang memiliki BIS? Juga bukan pemerintah! Oh, well, bukan pemerintah mana pun!

Yang memiliki dan mengendalikan BIS adalah sekelompok orang paling berkuasa di dunia—mereka yang namanya tak boleh disebut.

Oh, saya tidak sedang bercanda!

Catatan ini merupakan catatan awal yang kelak akan menjadi serangkaian catatan panjang berisi penjelasan mengerikan mengenai sistem yang saat ini sedang membelit seluruh dunia, beserta kita di dalamnya. Tetapi, sebelum masuk lebih jauh, kita akan mulai perlahan-lahan, dengan mempelajari apa yang dilakukan bank sentral, dan bagaimana sistem yang mereka jalankan benar-benar menjadi urusan paling gila di dunia.

Omong-omong, jika dalam waktu dekat saya mati secara tidak wajar, kalian boleh curiga hal itu berkaitan dengan catatan ini.

....
....

Well, uraian ini agak sedikit rumit. Karenanya, bacalah perlahan-lahan, dengan cermat dan hati-hati, hingga benar-benar paham.

Kita mulai dari fakta tadi. Pihak yang mencetak uang bukan pemerintah, melainkan bank sentral. Setiap kali uang diproduksi, negara harus berutang kepada bank sentral. Negara, yang diwakili pemerintah, tidak bisa memproduksi uang begitu saja. Setiap kali pemerintah membutuhkan uang, pemerintah harus berutang kepada bank sentral, atau mengeluarkan surat utang untuk ditukarkan dengan uang oleh bank sentral.

Jadi, setiap kali pemerintah menerima uang dari bank sentral, uang itu merupakan utang. Dan utang itu dibebani bunga yang juga harus dibayar pemerintah. Dalam bahasa Inggris, kenyataan ini disebut dengan istilah “interest-burdened debt”. Kapan pun pemerintah butuh uang untuk tujuan apa pun, mereka akan berutang ke bank sentral. Bank sentral menggelontorkan sejumlah uang yang merupakan utang, dan utang itu dibebani bunga yang harus dibayar pemerintah.

Apakah penjelasan ini sudah terdengar aneh? Tunggu, kalian perlu mendengar kelanjutannya, karena urusan ini akan semakin aneh.

Ketika bank sentral memproduksi sejumlah uang sebagaimana yang dibutuhkan pemerintah, bank sentral mengenakan bunga yang juga harus dibayar pemerintah. Yang menjadi masalah di sini, bank sentral hanya mencetak uang sejumlah yang dibutuhkan pemerintah, tetapi tidak pernah mencetak bunganya! Jadi, uang diproduksi sejumlah yang diinginkan pemerintah, tapi bunganya tidak pernah diproduksi, padahal pemerintah harus membayar utang beserta bunga!

Sebagai contoh, pemerintah Amerika Serikat meminta The Fed (bank sentral AS) untuk memproduksi uang sebanyak 100 juta dolar. The Fed pun mencetak uang sejumlah itu, dan mengenakan bunga 6 persen. Artinya, ketika The Fed menyerahkan uang sejumlah 100 juta dolar kepada pemerintah AS, maka saat itu pula pemerintah AS memiliki utang kepada The Fed sejumlah 106 juta dolar (100 juta dolar utang + 6 persen bunga).

Yang menjadi masalah, sebagaimana yang disebut tadi, bank sentral—dalam contoh ini The Fed—hanya mencetak jumlah utang, tapi tidak mencetak bunganya. Mereka hanya mencetak 100 juta dolar, dan memberikan pada pemerintah sambil mengenakan bunga sejumlah 6 juta dolar, tapi tidak mencetak 6 juta dolar tersebut. Pertanyaannya, tentu saja, bagaimana pemerintah AS bisa melunasi utang itu sepenuhnya?

Jawabannya jelas: Tidak akan bisa!

Satu-satunya cara agar pemerintah AS bisa melunasi utang yang 100 juta dolar beserta bunganya kepada The Fed adalah... kembali berutang kepada The Fed!

Lalu utang pemerintah AS pun perlahan-lahan semakin besar. Utang berbunga utang berbunga utang berbunga utang, dan begitu seterusnya.

Sekarang kalian paham, kenapa negara-negara di dunia terbelit utang yang tak pernah selesai mereka lunasi. Karena mereka memang dibelit oleh utang yang mustahil dilunasi. Ini bukan kesalahan matematis. Ini adalah sistem yang sengaja dirancang untuk membangkrutkan negara-negara di dunia, membuat negara-negara terbelit utang dalam jumlah tak terbatas, hingga tak bisa lagi membayar. Sistem ini telah lama terjadi, dan terus berlangsung sampai saat ini.

Sekadar ilustrasi, utang pemerintah Amerika saat ini lebih dari $14.000.000.000.000 (empat belas triliun dolar), dan jumlah itu akan terus bertambah seiring waktu berjalan, karena utang besar itu akan menumbuhkan utang lain, berikut bunga yang ikut membesar, dan begitu seterusnya. Karenanya, bahkan sejak jauh-jauh hari, para ahli sudah meramalkan bahwa Amerika akan menjadi negara awal yang kelak mengalami kebangkrutan. Oh, well, siapa yang bilang mereka kaya?

Lalu berapa utang Indonesia? Hingga akhir Oktober 2016, utang pemerintah Indonesia sudah mencapai Rp 3.439,78 triliun (lebih dari tiga ribu empat ratus triliun!) Sudah terdengar banyak? Itu pun masih kurang, karena pemerintah Indonesia sedang berencana menambah utang. Dan, begitu pula, yang terjadi di banyak negara lain. Berdasarkan penjelasan di atas, kita tahu bahwa kenyataan ini—utang terus menerus yang dilakukan banyak negara—adalah sesuatu yang niscaya. Dengan kata lain, tidak bisa tidak!

Kemudian, yang tidak kalah gila dari semua ini, bank boleh membuat uang seenaknya, dan menggunakannya sebagai piutang yang harus dibayar berikut bunganya. Dalam ilustrasi yang mudah, temanmu bisa masuk penjara jika mencoba membuat uang palsu. Tapi bank boleh! “Uang palsu” buatan bank disebut dengan istilah “fractional reserve system” atau sistem cadangan fraksional.

Sistem tersebut membolehkan bank untuk memberi pinjaman atau kredit sebesar ratusan hingga ribuan persen dari cadangan modal yang dimilikinya. Bila cadangan wajib perbankan ditentukan 10 persen, misalnya, maka dengan modal sebesar 100 juta dolar, bank bisa memberikan kredit hingga 900 juta dolar. Tentu saja dengan mengenakan bunga bagi si peminjam.

Melihat sistem ini, kita pun mungkin berpikir bahwa cara paling cepat sekaligus paling mudah untuk menjadi kaya adalah dengan memiliki bank. Benar! Di sisi lain, pihak yang paling bertanggung jawab atas terjadinya inflasi—karena uang yang beredar lebih banyak dari barang—juga bank.

Sudah melihat bagaimana gilanya urusan ini?

Sekarang kita mulai memahami mengapa uang yang kita miliki terus mengalami penurunan nilai dari tahun ke tahun akibat inflasi. Karena sistem yang digunakan memang sengaja diarahkan begitu. Sistem yang kita hadapi saat ini adalah sistem yang dirancang untuk memiskinkan siapa pun—negara, beserta orang-orang di dalamnya. Kemiskinan adalah hasil niscaya dari sistem yang gila ini.

Kemiskinan, disadari atau tidak, terjadi karena bank-bank memberi pinjaman atau kredit kepada publik dengan beban bunga. Yang menjadi masalah—sebagaimana dijelaskan tadi—bank mencetak uang yang ditujukan sebagai pinjaman, tetapi tidak mencetak bunganya. Akibatnya, orang-orang harus “bertarung” untuk dapat mengembalikan pinjaman yang nilainya lebih tinggi dari jumlah yang mereka pinjam. Dan dalam “pertarungan” itu, tentu saja ada yang kalah dan menang. Siapa yang menang? Bank!

Jika saya adalah bank, maka inilah permainan yang akan saya mainkan, untuk membuat saya kaya dalam waktu singkat, sekaligus membuat kalian jatuh melarat.

Sebagai bank yang berhak mencetak uang (memberi kredit) melebihi kapasitas modal, saya akan mencetak uang dalam jumlah banyak, lalu memberikannya sebagai pinjaman kepada kalian. Pinjaman itu dikenai bunga yang juga harus kalian bayar. Saya mencetak uang yang dijadikan pinjaman, tapi saya tidak mencetak bunganya. Lalu kalian berdatangan kepada saya untuk meminjam uang. Apa yang terjadi setelah itu?

Di antara sekian banyak orang yang meminjam uang kepada saya, pasti ada sebagian yang tidak akan bisa membayar. Itu sesuatu yang bisa dipastikan! Kenapa? Karena saya mencetak uang yang ditujukan untuk dipinjamkan, tetapi tidak mencetak bunganya, padahal kalian harus membayar bunga. Dan ketika sebagian orang tidak bisa membayar utang mereka, apa yang akan saya lakukan? Jawabannya sederhana; menyita aset yang menjadi jaminan mereka!

Sudah melihat bagaimana permainan ini dijalankan? Tak jauh beda dengan permainan monopoli, yang menang akan terus bertambah kaya (karena mendapatkan limpahan aset yang disita), sementara yang kalah akan semakin miskin (karena harus kehilangan aset-aset yang sudah dijaminkan ke bank). Karenanya, seiring waktu, dalam jangka panjang, para pemenang akan terkonsentrasi pada segelintir orang yang memiliki modal paling besar, yaitu para pemilik bank. Aset-aset dan kekayaan akan terus terkumpul untuk mereka.

Dua ratus empat belas tahun sebelum saya menulis catatan ini, Thomas Jefferson, Presiden Amerika, menyatakan kalimat berikut, “Bila rakyat Amerika mengizinkan perbankan swasta untuk mengontrol uang mereka—pertama-tama lewat inflasi dan kemudian dengan deflasi—bank-bank dan korporasi yang mengelilinginya akan memisahkan rakyat Amerika dari properti mereka, sampai suatu hari anak-anak mereka akan bangun dari tidur tanpa rumah di atas tanah yang ditaklukkan oleh leluhur mereka.”

Tiga puluh tahun setelah Thomas Jefferson memperingatkan hal itu, Andrew Jackson, Presiden Amerika yang lain, menemukan kenyataan mengerikan yang telah diperingatkan oleh Jefferson. Pada 1833, Andrew Jackson terang-terangan berteriak di podium, “Kalian (bankir internasional) para penjahat busuk, saya akan mengusir kalian. Demi Tuhan, saya akan mengusir kalian!”

Kemudian, pada 1852, ketika William Gladstone menjadi Perdana Menteri Inggris, dia tercengang mendapati kenyataan yang di luar bayangannya. Dalam kata-katanya sendiri, William Gladstone mengatakan, “Sejak saya bertugas di sini, saya mulai menyadari ternyata pemerintah tidak berkuasa atas masalah finansial. Mereka memang tidak direncanakan untuk berkuasa, karena pekerjaan mereka sebenarnya adalah melindungi dan menutupi ‘Kekuatan Kaya’.”

Bertahun-tahun setelah itu, pada 1934, David Lloyd, Mantan Perdana Menteri Inggris, dengan terang-terangan mengatakan, “Inggris adalah budak kekuatan finansial internasional.” Yang ia maksud adalah bahwa sebenarnya Inggris tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan apa-apa, karena kekuatan yang seolah dimiliki Inggris sebenarnya dimiliki oleh para bankir yang mengendalikan uang.

Karena kenyataan itu pula, bank adalah pihak yang paling senang ketika perang terjadi, karena perang memberi banyak keuntungan kepada bank. Ketika terjadi perang, pemerintah negara-negara yang terlibat dalam perang akan membutuhkan banyak modal untuk berperang. Karena pemerintah butuh banyak modal, mereka pun berutang kepada bank sentral. Seperti biasa, bank memberikan sejumlah yang diminta pemerintah, berikut bunganya.

Selanjutnya, utang-utang pemerintah itu dapat diperjualbelikan dan dijadikan aset oleh perbankan untuk kembali “menggandakan” uang (ingat “fractional reserve system” di atas). Semakin banyak utang pemerintah, semakin banyak pula uang yang dapat digandakan oleh bank. Semakin sering perang terjadi, bank semakin untung, karena perang adalah salah satu peristiwa ketika pemerintah akan berutang dengan jumlah luar biasa besar.

Sebagai contoh, Perang Irak menghabiskan biaya mencapai 3 triliun dolar. Kenyataan itu dibenarkan oleh Joseph Stiglitz, ekonom peraih Nobel. Bagi pemerintah negara yang terlibat perang, 3 triliun dolar adalah utang besar. Bagi bank-bank sentral, 3 triliun dolar adalah modal besar. Sekali lagi, sudah melihat bagaimana permainan ini dijalankan?

Sampai di sini, pasti sebagian orang akan berpikir, “Kalau memang begitu kenyataannya, kenapa tidak ada yang mencoba menentang atau mengubah sistem yang gila itu? Kenapa tidak ada satu presiden atau satu pemerintah atau satu negara pun, yang mencoba mengubah sistem yang jelas-jelas tidak beres itu?”

Sebenarnya, sudah ada orang-orang nekat yang pernah mencoba menentang sistem tersebut. Beberapa presiden Amerika yang paling kuat pernah mencoba melawan sistem tersebut. Abraham Lincoln, misalnya, pernah terang-terangan menentang The Fed, yang menjadi bank sentral AS. Dia tidak mau berurusan dengan The Fed. Alih-alih membiarkan The Fed mencetak uang untuk Amerika, Lincoln waktu itu memutuskan untuk membuat uang sendiri yang akan digunakannya sendiri, dan persetan dengan The Fed.

Pada 1862, Abraham Lincoln mengatakan dengan marah, “Pemerintahlah yang seharusnya mencetak dan mengedarkan uang, sesuai kemampuan belanja pemerintah dan daya beli masyarakat. Dengan mengadopsi prinsip ini, rakyat bisa dibebaskan dari bunga pajak yang sangat memberatkan. Uang akan menjadi pelayan manusia, bukan majikannya.”

Apa yang terjadi kemudian?

Kita tahu jawabannya. Abraham Lincold mati terbunuh.

Dua puluh tahun setelah era Lincoln, James Garfield menjabat sebagai Presiden Amerika. Sama seperti Lincoln, dia juga melihat ketidakberesan yang terjadi terkait keuangan negaranya yang dikendalikan oleh bank sentral (The Fed).

Pada 1881, James Garfield menyatakan, “Siapa yang mengendalikan volume uang di sebuah negara adalah tuan sebenarnya dari industri dan perdagangan… dan ketika Anda sadar bahwa keseluruhan sistem ini sebenarnya mudah dikendalikan—oleh sekelompok kecil orang di atas—Anda tak perlu diberitahu lagi dari mana datangnya periode deflasi dan depresi.”

Karena kesadaran itu pula, James Garfield pun mempersiapkan rencana untuk menghabisi kekuasaan The Fed, dan pemerintah Amerika akan mencetak uang sendiri, agar negara serta rakyat tidak dibelit utang yang dirancang oleh bank.

Dan apa yang terjadi kemudian?

Oh, well, sejarah terulang. James Garfield mati terbunuh.

John F. Kennedy adalah presiden AS lain yang pernah mencoba melawan kekuasaan bank sentral di Amerika. Tidak jauh beda dengan Lincoln dan Garfield, Kennedy juga berpikir bahwa keberadaan The Fed di AS bukan membantu, melainkan merusak. Jadi, sama seperti Lincoln, Kennedy juga mencoba melawan.

Pada waktu itu, sebagai pemegang kekuasaan Amerika, John F. Kennedy menerbitkan silver dolar (uang dalam arti sesungguhnya, bukan kredit) dan menandatangani Executive Order 11110 untuk mencabut hak Federal Reserve dalam mencetak uang sebagai utang kepada publik Amerika. Kennedy mengatakan, “Petinggi di kantor kepresidenan telah digunakan sebagai basis untuk menghancurkan kebebasan rakyat Amerika. Dan sebelum saya meninggalkan kantor ini, saya harus menginformasikan hal ini kepada rakyat.”

Dan apa yang terjadi kemudian?

Sekali lagi, kita tahu jawabannya. John F. Kennedy tewas ditembak.

Presiden Amerika lain yang juga tewas ditembak adalah William McKinley, yang menjabat sejak 1897-1901. Sama seperti tiga presiden sebelumnya, William McKinley juga tewas akibat rencana mengubah sistem keuangan dan perbankan di negaranya.

Sekarang pikirkan, jika ada organisasi yang berani membunuh presiden Amerika Serikat karena presiden-presiden itu dianggap “tidak beres”, sekuat dan sebesar apa organisasi ini? Wong presiden Amerika saja dibunuh! Dan kalau mereka punya keberanian sekaligus kemampuan membunuh presiden Amerika, membunuh orang lain tentu jauh lebih mudah bagi mereka.

Terbunuhnya empat presiden AS itu akhirnya menjadi “pelajaran” bagi presiden-presiden AS sesudahnya, untuk tidak mencoba mengutak-atik masalah keuangan atau menentang kekuasaan bank sentral. Hal itu dipahami benar oleh Woodrow Wilson, yang juga pernah menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat.

Woodrow Wilson menyadari betapa rusak sistem keuangan di negaranya, karena dikendalikan oleh sistem The Fed yang dirancang dan dikendalikan segelintir orang. Tapi dia tidak bisa apa-apa, selain hanya “nggerundel” di belakang.

Pada 1916, di sebuah pertemuan tertutup, Woodrow Wilson menyatakan, “Kita telah menjadi salah satu pemerintahan terburuk yang ada dalam peradaban. Bukan lagi pemerintahan yang memiliki kebebasan berpendapat, bukan lagi pemerintahan yang dijalankan oleh mayoritas suara, tetapi sebuah pemerintahan yang didominasi oleh sekelompok kecil orang. Sebagian orang-orang besar di Amerika—di dunia perdagangan dan manufaktur—sedang takut pada sesuatu. Mereka tahu ada sebuah kekuatan yang terorganisir, tak terlihat, rumit, yang membuat mereka sebaiknya tidak bicara terlalu keras kalau ingin mengutukinya.”

Woodrow Wilson hanya bisa sebatas nggerundel. Karena dia tahu, kalau dia mencoba mengusik sistem yang telah kuat itu, nasibnya akan sama dengan empat presiden sebelumnya. Belakangan, pada 1924, Woodrow Wilson bahkan sampai mengutuki diri sendiri, dengan mengatakan, “Saya manusia yang paling tidak bahagia di dunia. Saya secara tak sengaja telah menghancurkan negara saya.” Kalimat itu ia ucapkan terkait keputusannya dalam memberikan kewenangan pada The Fed di AS, akibat tidak bisa menolak tekanan.

Yang belum lama terjadi, Muammar Gaddafi di Libya juga telah menyusun rencana untuk mengubah sistem perbankan di negaranya, dengan meniadakan bank sentral. Gaddafi, sebagaimana Lincoln dan Kennedy, juga menyadari bahwa keberadaan bank sentral diam-diam menggerogoti negaranya, dan dia memutuskan untuk mengubah keadaan itu.

Apa yang kemudian terjadi?

Berbagai media mainstream dunia seketika memfitnah Gaddafi dengan tuduhan-tuduhan mengerikan, lalu Amerika menyerang Libya, dan riwayat Gaddafi tamat. Oh, well, kalian pikir perang di Libya kemarin buat apa? Gaddafi mungkin gila, tapi dia bukan orang berbahaya. Yang menjadikan Gaddafi berbahaya, karena dia berencana mengubah sistem bank sentral di negaranya! Rencana itu pulalah yang membuatnya terbunuh.

Di Indonesia, Presiden Jokowi juga pernah melontarkan ide serupa, terkait dengan bank sentral. Pada 1 April 2016, Jokowi menyatakan ingin membubarkan Bank Dunia atau bank sentral. Satu tahun sebelumnya, dalam Konferensi Asia-Afrika pada 22 April 2015, Presiden Jokowi bahkan terang-terangan menyatakan bahwa lembaga semacam Bank Dunia, IMF, dan ADB (Bank Pembangunan Asia) harus dibubarkan. Salah satu berita mengenai hal tersebut, bisa dibaca di sini.

Sebagai orang berlatar belakang pedagang, Jokowi pasti paham pengaruh merusak yang ditimbulkan oleh bank sentral, karena neraca perdagangan telah mengajari Jokowi mengenai untung-rugi. Tetapi, lontaran Presiden Jokowi waktu itu tidak terlalu menarik perhatian banyak orang—kenapa? Karena kebanyakan orang tidak paham apa maksud Jokowi!

Urusan bank sentral dan sistem keuangan yang kita jalani saat ini adalah urusan paling gila di dunia, tetapi ironisnya hanya segelintir orang yang tahu dan menyadari bahaya di baliknya. Terkait Presiden Jokowi, sejak melontarkan idenya yang “revolusiner” tempo hari, sampai saat ini masih belum ada tindakan apa-apa. Kemungkinan besar, Presiden Jokowi akhirnya juga melihat, dan tahu, siapa yang harus dihadapinya, dan mungkin jadi berpikir-pikir lagi untuk menindaklanjuti rencananya.

Jadi, inilah urusan paling gila di dunia—sebuah sistem yang absurd dan jelas-jelas merugikan, tapi terus (terpaksa) dijalankan, karena sistem itu dilindungi orang-orang paling berkuasa di dunia. Sistem itu telah dirancang jauh-jauh hari, setidaknya sejak abad ke-16, dan membawa satu misi yang pasti: Memiskinkan negara-negara di dunia, dan membuat kaya segelintir orang. Pada akhirnya, sistem inilah yang akan mengantarkan umat manusia menuju satu pemerintahan dunia, sekaligus memulai abad perbudakan terbesar sepanjang masa.

Jika kalian menganggap ini terdengar seperti teori konspirasi, tunggu catatan-catatan yang akan datang... tahun depan.

Jika saya masih hidup.

=========================
HOAX juga punya sumber!
=========================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar